islami.co.id, Jakarta – Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) meluncurkan buku berjudul Menavigasi Perubahan NU dan Pesantren: Syarah Pemikiran Gus Yahya di kantor PBNU, Jakarta, Jumat (14/11/2025). Buku tersebut merangkum gagasan, visi, dan program yang dijalankan Ketua Umum PBNU, Yahya Cholil Staquf, sepanjang tiga tahun kepemimpinannya sejak 2022.
Penulis pengantar buku, Rumadi Ahmad, menyampaikan bahwa karya itu disusun sebagai penjelasan menyeluruh terhadap pemikiran Gus Yahya. Rumadi menjelaskan bahwa penyusunan buku melibatkan sepuluh penulis yang masing-masing mengulas gagasan berdasarkan matan pemikiran yang disampaikan langsung oleh Gus Yahya dalam berbagai kesempatan.
“Awalnya buku ini disusun tanpa sepengetahuan Gus Yahya. Tapi saya yakin beliau tidak keberatan pemikirannya dijelaskan lebih jauh. Berkat komitmen para penulis, akhirnya buku ini rampung,” kata Rumadi.
Dalam peluncuran itu, Gus Yahya menegaskan bahwa khidmah di NU bukan sekadar aktivitas organisasi. Baginya, pengabdian tersebut merupakan bagian dari ibadah dan wujud kepedulian terhadap kemaslahatan bersama. “Aktif dan mengabdi di NU adalah ‘ibadatullah wa ‘idzharurrahmah bi Nahdlatil Ulama’, yakni beribadah kepada Allah dan menebarkan rahmah melalui NU,” ujarnya.
Ia menerangkan bahwa konsolidasi organisasi menjadi fondasi penting agar NU mampu bergerak strategis dalam isu nasional maupun global. Gus Yahya menilai struktur NU masih belum sepenuhnya terkonsolidasi. Ia menyebutkan bahwa hubungan antarelemen struktural sering tidak tersambung dengan baik, sementara sisi kultural jauh lebih kompleks. “Tidak mungkin kita mengurus 30 ribu pesantren tanpa koherensi organisasi,” katanya.
Baca juga, Islam dan Budaya Keagamaan: Studi Tradisi Masyarakat Jawa
Menurutnya, upaya konsolidasi tidak selalu berjalan mulus. Beberapa pihak merasa kurang nyaman dengan pembakuan sistem, sementara persepsi publik terhadap NU sebagai potensi atau ancaman juga memengaruhi dinamika internal. Gus Yahya menekankan pentingnya membangun ekosistem pesantren yang lebih mapan di tengah perubahan sosial yang cepat. “Ke depan, pesantren ini akan jadi apa? Perubahan sosial besar sedang terjadi. Maka ekosistemnya harus dibangun—baik standar, mekanisme, maupun pola hubungan. Itu yang harus terus dikembangkan,” ujarnya.

Sekretaris BMBPSDM Kementerian Agama, Ahmad Zainul Hamdi, memandang persoalan konsolidasi NU bersumber dari tantangan kepemimpinan. Ia berpendapat bahwa memimpin NU lebih berat dibanding memimpin negara karena struktur NU sangat kompleks dan membutuhkan pemahaman mendalam atas kultur warganya. “Kepemimpinan NU itu persuasif, bukan koersif. Karena itu, yang dibutuhkan hampir manusia setengah dewa untuk memimpin NU dengan segala kerumitannya,” katanya.
Aktivis dan intelektual NU, Helmi Ali, mengapresiasi kedalaman gagasan Gus Yahya. Menurutnya, NU tetap relevan karena sejak awal hadir sebagai respons atas tantangan keagamaan dan kolonialisme di Indonesia. “Ketika pemerintah Saudi dengan paham Wahabi bergerak, saat penjajah mengeksploitasi sumber daya, keberadaan NU selalu menjawab kebutuhan zaman,” katanya. Ia menyoroti tantangan besar pada masa depan pesantren dan risiko NU terseret sebagai politik identitas. “Bagaimana pesantren bisa benar-benar berdaya? Itu pertanyaan krusial dan tantangan yang harus dijawab,” ujar Helmi.
Sementara itu, pengamat sosial dan politik, Fachry Ali, menilai buku tersebut perlu ditempatkan dalam tradisi panjang intelektual NU. Ia memberi catatan terhadap beberapa istilah yang muncul dalam buku, termasuk merujuk pada keputusan Muktamar NU 1936 mengenai Darul Islam. “Tradisi pesantren selalu menjadi alat koreksi terhadap pandangan sebelumnya. Pesantren didirikan oleh pribadi-pribadi besar dengan gagasan besar,” ujarnya.
Fachry juga menyinggung perubahan demografi setelah era industri yang berdampak pada perjalanan NU. Menurutnya, NU kerap kesulitan memahami dinamika politik dan pemilu, meskipun banyak kader yang berada dalam sistem pemerintahan. “Konsolidasi harus terus dibicarakan agar unsur chaos di NU bisa diolah menjadi energi perubahan,” kata Fachry.










