Home / Sejarah / Relasi Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Nusantara

Relasi Kekhalifahan Turki Utsmani dengan Nusantara

Turki Utsmani

islami.co.id  Hubungan antara Kekhalifahan Turki Utsmani dengan dunia Islam di Nusantara merupakan salah satu bab penting dalam sejarah peradaban Islam global. Relasi ini tidak hanya didasarkan pada solidaritas keagamaan, tetapi juga pada kepentingan politik, ekonomi, dan diplomatik yang berkembang sejak abad ke-16 hingga awal abad ke-20.

Secara historis, Kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman Empire) dikenal sebagai kekuatan Islam terbesar yang berpusat di Istanbul, dengan wilayah kekuasaan meliputi tiga benua: Asia, Afrika, dan Eropa. Sementara itu, di bagian timur dunia Islam, Nusantara tengah tumbuh menjadi wilayah dengan komunitas Muslim yang pesat, terutama di Kesultanan Aceh, Demak, Banten, dan Ternate. Kedua kawasan ini, meski terpisah jarak yang jauh, memiliki ikatan spiritual yang kuat melalui konsep ummatan wahidah (umat yang satu).

Dalam Al-Qur’an, Allah Swt. berfirman:

إِنَّ هَذِهِ أُمَّتُكُمْ أُمَّةً وَاحِدَةً وَأَنَا رَبُّكُمْ فَاعْبُدُونِ

“Sesungguhnya (agama tauhid) ini adalah agama kamu semua, agama yang satu, dan Aku adalah Tuhanmu, maka sembahlah Aku.” (QS. Al-Anbiya: 92)

Ayat ini menjadi dasar ideologis bagi solidaritas umat Islam lintas wilayah dan bangsa. Karena itu, hubungan antara Turki Utsmani dan Nusantara bukanlah semata urusan politik, melainkan bentuk dari kesadaran spiritual kolektif untuk menjaga kekuatan Islam dari ancaman kolonialisme Barat.

Khutbah Jumat: Meneladani Para Pahlawan Islam Pejuang Kemerdekaan

Salah satu catatan sejarah yang menonjol adalah hubungan erat antara Kesultanan Aceh Darussalam dan Turki Utsmani. Sejarawan Anthony Reid dalam Southeast Asia in the Age of Commerce mencatat bahwa pada abad ke-16, Sultan Aceh mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan militer menghadapi Portugis di Malaka. Permintaan itu dijawab oleh Sultan Sulaiman al-Qanuni (1520–1566) dengan mengirimkan teknisi senjata, ahli artileri, dan peralatan perang ke Aceh.

Bukti diplomatik lain ditemukan dalam surat-surat resmi antara Sultan Alauddin Riayat Syah dari Aceh dan Khalifah Turki Utsmani. Hubungan ini menandai bentuk pengakuan simbolik bahwa Aceh merupakan bagian dari dunia Islam di bawah perlindungan khalifah. Bahkan, pada beberapa sumber lokal disebutkan bahwa Aceh memperoleh panji kekhalifahan sebagai tanda legitimasi.

Relasi serupa juga berpengaruh pada dunia Islam di Jawa. Meskipun tidak tercatat hubungan diplomatik langsung, kesadaran akan eksistensi kekhalifahan membuat para ulama Nusantara menaruh hormat kepada Turki Utsmani. Dalam literatur pesantren abad ke-18, sering disebut istilah “Negeri Rum” untuk menyebut pusat kekuasaan Islam di Istanbul. Istilah ini menjadi simbol peradaban Islam global yang menginspirasi perjuangan melawan kolonialisme.

Dalam konteks sosial keagamaan, gagasan pan-Islamisme yang disuarakan oleh Sultan Abdul Hamid II pada akhir abad ke-19 juga menggugah kesadaran nasionalisme Islam di Nusantara. Banyak ulama dan aktivis pergerakan seperti Haji Agus Salim, H.O.S. Tjokroaminoto, dan Ahmad Dahlan yang mengadopsi semangat persatuan Islam global tersebut.

Hadis Nabi Muhammad saw. menegaskan pentingnya solidaritas umat Islam:

مَثَلُ الْمُؤْمِنِينَ فِي تَوَادِّهِمْ وَتَرَاحُمِهِمْ كَمَثَلِ الْجَسَدِ، إِذَا اشْتَكَى مِنْهُ عُضْوٌ تَدَاعَى لَهُ سَائِرُ الْجَسَدِ بِالسَّهَرِ وَالْحُمَّى

“Perumpamaan orang-orang beriman dalam hal saling mencintai, menyayangi, dan mengasihi di antara mereka adalah seperti satu tubuh; apabila satu anggota tubuh sakit, maka seluruh tubuh akan merasakan demam dan tidak bisa tidur.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Hadis ini memperkuat makna historis dari hubungan antara Kekhalifahan Turki Utsmani dan Nusantara, yang dilandasi oleh semangat ukhuwah Islamiyah. Meskipun kekhalifahan akhirnya runtuh pada 1924, jejak hubungan spiritual dan diplomatik itu tetap membekas dalam kesadaran umat Islam Indonesia.

Kini, relasi tersebut tidak lagi berbentuk kekuasaan politik, melainkan warisan intelektual dan solidaritas moral antarumat Islam dunia. Melalui warisan sejarah ini, umat Islam di Indonesia dapat mengambil pelajaran tentang pentingnya persatuan, kolaborasi lintas bangsa, dan kesetiaan terhadap nilai-nilai Islam universal.

Tag:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *